Kamis, 19 Januari 2012

Sekolah Alam Indonesia

It’s a Dream Comes True!
Sekolah Alam Indonesia (SAI) adalah impian yang jadi kenyataan bagi mereka yang menginginkan perubahan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Bukan sekadar perubahan sistem, metode, dan target pembelajaran, melainkan perubahan paradigma pendidikan secara menyeluruh yang pada akhirnya mengarah pada perbaikan mutu dan hasil akhir dari proses pendidikan itu sendiri.

Di SAI, anak-anak dibebaskan bereksplorasi, bereksperimen, berekspresi tanpa dibatasi sekat dinding dan berbagai aturan yang mengekang rasa ingin tahu mereka, yang membatasi interaksi mereka dengan kehidupan yang sebenarnya, yang membuat mereka berjarak dan tak akrab dengan alam lingkungan mereka.

Anak dibebaskan menjadi diri mereka dan mengembangkan potensi dirinya untuk tumbuh menjadi manusia yang berkarakter, berakhlak mulia, berwawasan ilmu pengetahuan, dan siap menjadi pemimpin sesuai dengan hakikat penciptaan manusia untuk menjadi pemimpin di muka bumi.
Anak dibebaskan dari tekanan ‘mengejar’ nilai dan rangking. Mereka didorong untuk menumbuhkan tradisi ilmiah. Prestasi setiap anak tidak dilihat dalam perbandingan dengan anak lain, tapi dari upaya mereka memaksimalkan potensi diri dan menjadi lebih baik. Belajar menjadi sesuatu yang menyenangkan, tidak membebani.

“Belajar menjadi kebutuhan, bukan keharusan. Sekolah tidak menjadi penjara yang membosankan”

SAI membebaskan guru untuk berkreasi dalam mengajar. Kreativitas guru tidak dibatasi oleh buku paket dan target nilai. Guru tak sekadar mengajar, tapi mendidik. Guru tak hanya jadi panutan, tapi juga jadi teman. Guru adalah fasilitator. Guru-guru yang beridealisme tinggi dan penuh dedikasi di sekolah ini membantu anak didik mengenali kelebihan dan kekurangannya, dan menjadikan mereka tidak sekadar tahu, tapi bisa melakukan. Tidak sekadar kenal, tapi paham. Tidak sekadar berilmu, tapi berkarakter dan berakhlak mulia. Tidak sekadar mandiri, tapi bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk dikerjakan.

Sebagai sekolah berbasis komunitas, penyelenggaraan kegiatan pendidikan di SAI tidak semata-mata menjadi tanggung jawab guru dan yayasan, tapi juga orangtua murid. Semua terlibat, semua turun tangan mengatasi berbagai kendala dan persoalan yang timbul. Semua peduli dengan pengembangan sekolah karena sekolah bukan ‘milik’ yayasan atau pribadi-pribadi tertentu, tapi milik komunitas.

Semangat kebersamaan komunitas dibangun dengan prinsip anakmu adalah anakku, yang diterjemahkan dalam sistem subsidi silang, yaitu yang lebih mampu membantu yang kurang mampu.

Sebagai sebuah paradigma baru dalam dunia pendidikan di Indonesia, SAI diharapkan menjadi tambahan kekayaan dalam khazanah pendidikan nasional. Bisa dinikmati oleh lebih banyak anak di seluruh Indonesia. Bisa lebih melibatkan banyak pihak dalam mengembangkannya. Karena pada hakikatnya, penyelenggaraan pendidikan itu bukan hanya tanggung jawab pemerintah, namun seluruh komponen bangsa.

Berebut Sekolah di SAI
Pada 5 dan 6 Februari 2010, sebuah berita menghebohkan muncul di hampir semua stasiun televisi, portal berita, dan media cetak nasional di Jakarta (bahkan salah satunya menempatkannya sebagai headline news). Sejumlah media elektronik di daerah juga turut menyadur berita tersebut. Berita itu tak lain tentang membludaknya jumlah orangtua yang antre untuk mendapatkan formulir pendaftaran di Sekolah Alam Indonesia (SAI).

Antrean menjadi tidak lazim karena terjadi semalam sebelum formulir dibagikan. Ratusan orangtua rela menginap di halaman parkir sekolah. Waktu pengambilan formulir dijadwalkan dimulai pukul 7:30, Sabtu 6 Februari 2010. Namun, yang terjadi, sejumlah calon orangtua murid sudah mulai berdatangan dan membuat antrean sejak Jumat 5, Februari 2010, pukul 15:30. Mendekati tengah malam, halaman parkir sekolah telah dipenuhi calon orangtua yang mengantre. Panitia pendaftaran membuka tenda dan memasang kursi untuk digunakan oleh mereka. Mereka menunggu hingga pagi, sebagian tidur terlelap di kursi.

Barangkali sulit dipercaya: para orangtua itu rela antre dan menginap “hanya” untuk mendapatkan formulir pendaftaran sekolah tingkat Play Group, Taman Kanak Kanak, dan Sekolah Dasar. Seandainya mereka antre mendapatkan formulir pendaftaran untuk sekolah di jenjang yang lebih tinggi atau setingkat universitas, barangkali akan dapat lebih dimengerti.

Perjuangan dan “militansi” para orangtua seperti tergambar di atas jelas menggambarkan satu hal: kesadaran yang tinggi untuk mendapatkan pendidikan berkualitas bagi anak-anak mereka. Sulit membayangkan mereka rela antre semalaman jika tidak ada motivasi semacam itu. Saat ini memang semakin banyak masyarakat yang sadar terhadap pentingnya pendidikan berkualitas bagi anak sejak berusia dini.

Sekolah Alternatif
SAI berdiri tahun 1998 dengan nama Sekolah Alam. Awalnya hanya dengan 5 murid Play Group dan 3 murid SD. Selama 1998 sampai 2001 sekolah ini berlokasi di Jl. Damai Ciganjur. Sejak 2001 hingga saat ini lokasi sekolah berpindah ke Jl. Anda 7X Ciganjur, dengan menyewa lahan seluas 7.200 m2, menampung maksimal 12 kelas yang diperuntukkan bagi “kelas kecil” (PG, TK, dan SD kelas 1 sampai 4).

Memasuki usia ke-6 tahun, SAI membuat kampus baru untuk “kelas besar”, yaitu SD kelas 5 sampai 6 dan Sekolah Lanjutan (kelas 7 sampai 9) di Jl. Rawa Kopi, Cinere. Pemisahan “kelas besar” dari “kelas kecil” dilakukan untuk memaksimalkan program pembelajaran bagi siswa/siswi “kelas besar” sebagai persiapan memasuki masa aqil baligh mereka. Saat ini (2010) murid SAI berjumlah sekitar 370.

SAI adalah sekolah alam pertama dan menjadi pionir bagi sekolah berbasis alam dan komunitas di Indonesia. Sejak kehadirannya, SAI telah menarik begitu banyak perhatian. SAI dalam lima tahun terakhir mengalami perkembangan pesat —termasuk eksperimen bagaimana menjalankan sekolah berbasis komunitas. Sebagai sekolah alternatif (alternatif dibanding sekolah konvensional yang ada), SAI telah memberikan alternatif bagi para orangtua yang ingin mendapatkan penyegaran dan mempunyai pilihan yang lain dalam metode dan cara mendidik anak-anak mereka.

Sekolah Berbasis Alam
Sebagai sekolah alternatif, SAI berbeda dengan kebanyakan sekolah konvensional. Dari bangunan sekolah saja, sudah terlihat perbedaannya. Anda akan melihat anak-anak tidak belajar di ruang kelas yang dikelilingi tembok beton tetapi di dalam saung bertingkat dua. Alamlah yang mengelilingi mereka, bukan tembok beton. Anda juga akan menjumpai anak-anak yang sedang riang melakukan kegiatan outbound, berkebun, dan bermacam aktivitas outdoor lainnya.

Sekolah berbasis alam mengindikasikan satu hal: kegiatan belajar dilakukan dengan memaksimalkan eksplorasi terhadap alam lingkungan sekitar. Itulah mengapa sebagian besar aktivitas dilakukan di luar ruang. Siswa sesekali diajak langsung belajar di hutan, gunung, dan laut. Siswa tidak hanya dibekali teori, pelajaran dari buku atau belajar di dalam ruang kelas, tetapi mereka diajak langsung mengambil alam sebagai media belajar. Ketika belajar tentang biota laut, misalnya, siswa tidak hanya diajak melihat foto teripang yang ada di buku, tapi mereka melakukan outing ke Pulau Pari untuk bisa langsung melihat dan memegang teripang.

Ciri lain yang menonjol dari cara belajar di SAI adalah konsep senang (fun) dalam belajar. Karena itu, ada semboyan “learning is fun for us”. Suasana belajar dibuat menyenangkan dan siswa tidak merasa terbebani. Jangan heran kalau anak-anak ditanya belajar apa tadi di sekolah, mereka akan menjawab “kami tidak belajar tapi main”. Padahal dari kegiatan belajar yang dianggap bermain oleh anak-anak itu, mereka mendapatkan banyak pengetahuan.

Semua fenomena di atas tentu saja tidak mungkin terjadi tanpa kehadiran guru-guru yang sangat berdedikasi dan mengajar anak-anak dengan hati. Komunitas SAI sungguh beruntung dan bersyukur dikarunia guru-guru yang mengajar dengan sepenuh hati. Mereka begitu mencintai anak-anak. Dan memang itulah syarat pertama untuk menjadi guru di SAI.

Sekolah Berbasis Komunitas
Sejak tahun 2005 Sekolah Alam Indonesia kembali melakukan sebuah eksperimen dan terobosan baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Mulai saat itu dicanangkan sekolah berbasis komunitas: community based school. Artinya, sejak saat itu tidak ada lagi kepemilikan individual atau kepemilikan lembaga (yayasan), yang ada adalah sekolah menjadi milik bersama seluruh komponen yang bergiat di dalamnya: guru dan orangtua murid. Posisi pengurus sekolah diemban bersama oleh orangtua dan para guru.

Salah satu keunggulan konsep ini adalah terhindarnya sekolah dari tujuan lain selain dari tujuan pendidikan—misalnya tujuan mengambil keuntungan besar secara ekonomi bagi pemilik atau investornya. Setiap dana yang dimiliki SAI akan dikembalikan untuk mendukung kegiatan belajar mengajar, sehingga biaya yang harus dibayar para orangtua menjadi minimal. Kalaupun ada biaya yang lebih besar, itu karena adanya konsep meringankan biaya bagi anggota komunitas yang sedang mengalami kesulitan yang dipikul bersama oleh anggota komunitas lainnya yang dalam kelapangan rezeki.

Melihat bagaimana SAI dijalankan dan membludaknya minat orangtua yang ingin mendaftarkan anak-anaknya, tentulah ke depan diharapkan semakin banyak sekolah dengan konsep seperti ini. Dalam tataran nasional, diharapkan pula peran negara dan berbagai pihak yang mempunyai perhatian terhadap dunia pendidikan. (*) sumber : Sekolah Alam Indonesia blog